Jangan Miliki Yang Kamu Cintai






Suatu hari di hari yang sesuatu, saya pergi ke tempat dimana setiap orang mempunyai banyak kesempatan. Mereka semua memiliki karakter dan keinginan. Namun, mereka bukanlah pemimpi jalanan dan hanya seorang teman yang berharap mencapai bulan dengan melawan-lawan, tugas dosen tiap malam. Ya, saya berada di kelas.

Di kelas Penerbitan buka kurung Jurnalistik tutup kurung 3b, Teknik Grafika Penerbitan 2015 ditulis Penerbitan (Jurnalistik) 3b, TGP.  Kelas ini berisi 30 kepala hampa rasa dan sisanya kenangan luka.

Kali ini, pelajaran yang akan kami hadapi atau bisa dibilang kami “perangi” adalah reportase (bisa dibilang berita laporan kejadian). Namun, sang dosen kali ini hanya berbincang hal mengenai kehidupan. Dia juga mengaku senang dengan filsafat atau psikologi atau yang berbau kemanusiaan.

Hingga satu momen, dia berkata “Kita ini harus ikhlas, jika 1 bagi 2 sama dengan  setengah, 1 bagi 1 sama dengan nol. Lalu bagaimana jika 1 dibagi 0?” tanya beliau.

Ada satu mahasiswa yang entah mabuk kopi luwak pabrikan mana yang menjawab pertanyaan itu dengan jawaban 1. Bagaimana bisa 1 dibagi 0 sama dengan 1? Saya rasa mahasiswa itu lupa bahwa dirinya sudah kuliah. Kuliah itu apa? Saya lupa? Ah saya pelupa. Oke itu saya. Saya akui itu saya. Saya yang menjawab 1. Oke. Cukup.
“Gimana sih, masa 1 jawabannya, gak pernah SD ya?” sindir dosen itu.
“Jawabannya adalah tak terhingga,” lanjutnya menjawab sendiri. *ternyata gak ada yang lebih pinter dari gw kecuali si dosen* 8-|

Dosen itu menjelaskan, jika kita memberi kebaikan dengan berharap 1 balasan, maka tidak akan mendapat apa-apa. Berbeda jika kita tidak mengharapkan apa-apa dan ikhlas memberi kebaikan. Maka, yang didapat tak terhingga. Sedikit membosankan memang, tapi mulai menarik ketika dia melanjutkan.

“Begitu juga dengan cinta. Ikhlaslah mencintai dengan sepenuhnya,” katanya. Dan ia melanjutkan kata yang sangat saya setujui dan saya amini kebenarannya. “Jangan miliki yang kamu cintai. Tapi cintai yang kamu miliki,"

Simple, tapi kata itu menjawab semua diksi untuk membentuk suatu kalimat yang selama ini saya cari untuk menggambarkan apa itu cinta yang berani.

Problemanya, banyak dari manusia, baik yang paling muda (balita mungkin) hingga yang paling tua (motor vespa mungkin) yang tidak mau untuk mencintai dengan berani. Mereka rata-rata memikirkan gengsi dan persepsi sendiri, namun mengorbankan hati yang mereka cintai.


Contoh cinta yang memikirkan gengsi. Seseorang yang belum mau mencintai, namun sudah menyukai, akan cenderung memikirkan gengsi.

Padahal, cinta itu harus total. Memang boleh adanya suatu “gocekan” mental. Namun, yang lebih baik adalah berani dari awal. Berani dalam arti, sudah mengaku tertarik, meskipun belum cinta.

Tapi, ingat lagi, cinta itu harus berani. Jadi berani juga menerima jika dia menolak dan memilih pergi.  Itu saja, simple, tak perlu basa-basi. Karena semua sudah terungkap dan terjawab. “Jangan miliki yang kamu cintai. Tapi cintai yang kamu miliki,"


 **“Saya penulis lepas yang kelepasan. Jadi apapun itu yang berbau kesalahan. Mohon dimaafkan. Dan jika saya bukan pelaku yang saya tuliskan? Coba pelan-pelan anda lawan persespi negatifmu kawan. Ada saatnya engkau tidak tahu apa yang engkau ketahui dan harus diam untuk mengerti. Berkelas,” Terimakasih.** Penulis = Mati.


Pages