Kali ini saya akan berbicara sedikit mengenai sesuatu yang sudah cukup lama mengganggu telinga saya ketika mendengarnya. Bukan karena sesuatu itu berisik atau merusak kuping, tapi karena memang selalu ada kejanggalan yang seharusnya dibenarkan.
Pembenaran yang saya maksud ialah pembenaran dalam arti sesungguhnya, bukan ambiguitas atau relativitas. Ya, walaupun tidak ada yang tidak relatif, namun bagi saya hal ini setidaknya mengarah ke positif. Mungkin saya terlalu banyak basa-basi, namun ikuti saja bahasan ini, nanti anda juga akan mengerti.
Saya akan memulai pembahasan kali ini dari sebuah kisah si Rudi sang Pujangga dan si Ojak preman duda. *anjas duda*
Suatu hari si Ojak sedang berjalan di pinggir kali, entah berapa kali dia berjalan di pinggir kali. Mungkin dua kali kali. *pfft*.
Bosan berjalan, akhirnya Ojak menemukan hal keren di pinggir jalan. Dia melihat selembaran poster motivasi yang bertuliskan "Jadilah diri sendiri".
Tersenyumlah dia melihat tulisan tersebut. Ya, si Ojak sudah merasa mengenal dirinya sendiri dan sudah bertindak sesuai dengan apa yang dia kehendaki.
Bosan berjalan, akhirnya Ojak menemukan hal keren di pinggir jalan. Dia melihat selembaran poster motivasi yang bertuliskan "Jadilah diri sendiri".
Tersenyumlah dia melihat tulisan tersebut. Ya, si Ojak sudah merasa mengenal dirinya sendiri dan sudah bertindak sesuai dengan apa yang dia kehendaki.
Sebagai informasi, Ojak ini merupakan preman sekaliber Bang Napi. Berhari-hari waktu berjalan, berkali-kali juga Ojak memalak orang di jalan. Memalak sana-sini, tua-muda, pria-wanita, bahkan janda, kecuali duda, soalnya dia tahu rasanya jadi duda. Masak sendiri, nyuci sendiri, tidurpun sendiri *eh masih ditemenin denk ama buku diary*. Setiap hari seperti itu tanpa bosan dia lakukan.
Sampai pada suatu hari, Rudi sang pujangga melewati terowongan yang biasa Ojak beraksi. Bukan main, Ojak langsung sigap memasang muka tersangar miliknya dan bertindak memalak si Rudi. Begini kronologinya:
Ojak : "Men, mau kemane lo? Udeh tahu belom ini kawasan siape?"
Rudi : "Begitu ramah engkau menyapa, bagai mentari di pagi hari. Entah mengapa engkau bertanya sedemikian tak kumengerti apa maksud dari Mas Ojak si Pemilik hati."
Ojak : "Pemilik hati-pemilik hati, ogah gw punya hati lo. Sok-sok ngomongin hati lo. Udeh, no bacod. Langsung aje, mana duidnye?"
Rudi : "Apakah yang kakanda maksud? Aku tidak mengerti"
Ojak : "Duit-duit, kalo mau lewat sini mesti kasih duit ke gw
Rudi : "Tak ada berita tak ada kicauan atau bahkan selebaran mengenai duit tersebut?"
Ojak : "Ya emang gak ada, kalau ada bisa abis gw ditangkep polisi."
Rudi : "Wah, bukankah kakanda meminta uang haram yang begitu jahanam??"
Ojak : "Lah bodo amat, haram kek apa kek. Yang penting gw makan!"
Rudi : "Astaga, demi Tuhan yang di Sorga, engkau dilarang melakukan hal itu nak."
Ojak : "Bodo. Ini hidup gw! diri gw! kenapa lu atur-atur?"
Rudi : "Eh Ojak marujak. Hidup emang hidup lu, tapi yang hidup gak cuman lu! gak akan gw bayar, gw tangkep lu sekarang juga. *Nyatanya si Rudi selain penulis puisi pasaran, dia juga polisi samaran.
Ojak : "Men, mau kemane lo? Udeh tahu belom ini kawasan siape?"
Rudi : "Begitu ramah engkau menyapa, bagai mentari di pagi hari. Entah mengapa engkau bertanya sedemikian tak kumengerti apa maksud dari Mas Ojak si Pemilik hati."
Ojak : "Pemilik hati-pemilik hati, ogah gw punya hati lo. Sok-sok ngomongin hati lo. Udeh, no bacod. Langsung aje, mana duidnye?"
Rudi : "Apakah yang kakanda maksud? Aku tidak mengerti"
Ojak : "Duit-duit, kalo mau lewat sini mesti kasih duit ke gw
Rudi : "Tak ada berita tak ada kicauan atau bahkan selebaran mengenai duit tersebut?"
Ojak : "Ya emang gak ada, kalau ada bisa abis gw ditangkep polisi."
Rudi : "Wah, bukankah kakanda meminta uang haram yang begitu jahanam??"
Ojak : "Lah bodo amat, haram kek apa kek. Yang penting gw makan!"
Rudi : "Astaga, demi Tuhan yang di Sorga, engkau dilarang melakukan hal itu nak."
Ojak : "Bodo. Ini hidup gw! diri gw! kenapa lu atur-atur?"
Rudi : "Eh Ojak marujak. Hidup emang hidup lu, tapi yang hidup gak cuman lu! gak akan gw bayar, gw tangkep lu sekarang juga. *Nyatanya si Rudi selain penulis puisi pasaran, dia juga polisi samaran.
Ojak pun shock bukan main. Dia tertangkap dan dikurung 5 bulan penjara. Sebelum bebas dan dihakimi warga. Kasian.
Dari kisah tersebut, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa Ojak telah salah mengerti. Berawal dari dia yang menganggap dirinya sudah mengenal dirinya sendiri. Hingga akhirnya dia melakukan apa yang dia kehendaki tanpa peduli komentar atau perintah orang lain. Bila ada yang menentang, maka dia akan menggunakan dasar "jadilah diri sendiri" demi membenarkan diri.
Nah, apakah kata "jadilah diri sendiri" sepenuhnya benar? Hahaha, tidak juga kawan. Itu bisa juga salah bila tak dipahami dengan baik. Tapi kita sebagai penerima atau pembaca kata tersebut juga tidak salah bila salah mengaplikasikannya ke kehidupan sehari-hari. Kenapa? Karena tidak ada anjuran atau penejasan yang pasti mengenai maksud dari kata "Jadilah diri sendiri" dan memang tidak semua dapat mengerti dengan baik apa arti dari kata "Jadilah diri sendiri".
Sebaiknya, kata tersebut tidak sembarang diucapkan atau sekedar diucapkan tanpa diberi penjelasan. Mengapa harus dijelaskan? Bagaimana jadinya bila yang menerima kata tersebut ialah orang seperti Ojak di atas. Maksud saya, bagaimana bila yang menerima adalah orang negatif. Apakah karena dirinya negatif, maka dia menjadi dirnya yang tetap negatif? Hohoho, saya rasa tidak seperti itu. Dunia bisa meledak bila semua orang menjadi dirinya sendiri.
Maka mana yang lebih baik? Sebaiknya ubah kata tersebut menjadi "Jadilah manusia positif" titik. Dengan begitu tidak akan ada lagi yang salah persepsi dan pastinya akan membuat pembacanya mengerti. Adapun yang tidak mengerti, pastilah dia akan mencari apa maksud dari kata positif, dan pastilah dia punya bagian otak yang mengerti apa itu baik dan benar yang pastinya positif. Bahkan orang paling jahat pun akan memahami apa yang dimaksud dari kata "Jadilah manusia positif".
Tidak percaya jika orang jahat akan paham? Sekeji-kejinya geng begal motor. Tidak akan tega membiarkan teman satu gengnya mati akibat membegal motor. Pastilah ada satu-dua orang atau bahkan satu geng yang berkunjung ke makamnya atau mengikuti proses pemakamannya. Paling tidak ada yang berbela sungkawa akibat musibah yang menimpa teman satu begalnya. Iya kan? Tukang begal aja masih ada yang punya otak (hati kalau kata orang). Dan paling tidak mereka masih tau sisi positif dengan saling menghargai. Maka seperti tidak mungkin orang tak mengerti arti kata positif, mereka hanya tidak mau tahu saja.
Jadi masih mau jadi diri sendiri? Pffftt.
No comments:
Post a Comment