Mengapa Saling Antuk Akibat Transportasi Online?

Dulu, Agnes sering mengaku kesal karena dia harus berdebat dengan pengendara ojek. Yang diributkan setiap hari hanyalah besaran tarif. Ia mengatakan, pengendara ojek semena-mena dalam mematok tarif, bahkan terlalu tinggi.

Padahal mobilitas Agnes cukup tinggi, sehingga membuat ongkosnya selalu perlu diperhitungkan. Hingga akhirnya, hadir transportasi berbasis aplikasi dalam jaringan (daring/online). Agnes tak lagi kesal. 

Menurut dia, seperti dilansir dari Kompas.com, ojek online merupakan jawaban keresahannya soal transportasi murah. "Harga fix di ojek online sangat membantu mengurangi konflik," katanya.

Namun kebahagiaan Agnes tidak sepenuhnya sesuai dengan ekspektasi masyarakat lainnya. 


Saling Antuk pun Dimulai


Penolakan terhadap kemunculan transportasi berbasis online mulai bermunculan. Saling antuk (bertumbuk) antara yang pro dengan kontra pun dimulai. 

Salah satunya pada Senin, 14 Maret  2016 di dekat Istana Negara. Ribuan pengendara angkutan darat yang terdiri dari sopir taksi, metromini, bajaj, dan angkot berunjuk rasa, menuntut agar transportasi berbasis aplikasi online segera ditutup.

Suwardi, salah satu perwakilan dari Paguyuban Pengendara Angkutan Darat (PPAD), menjelaskan sejak transportasi umum online itu beroperasi, penghasilan mereka menurun drastis. Salah satu rekannya yang bekerja di armada taksi Express hanya bisa menyetor sekitar Rp150 ribu hingga Rp200 ribu. Padahal, sebelumnya, rekannya itu bisa menyetor hingga Rp300 ribu.

"Saya sendiri hanya bisa setor ke perusahaan. Komisi untuk dibawa pulang tidak ada," keluh Suwardi, saat diwawancarai rappler.com saat itu.

Pengemudi taksi terlibat ricuh dengan pengemudi gojek yang melintas saat unjuk rasa menolak operasi Go-jek di Balaikota Solo, Jawa Tengah, Rabu (15/3/2017) (Foto:Antara/Mohammad Ayudha).


Gejolak Pemerintah  


Pemerintah sendiri saat itu merasa resah karena tidak adanya payung hukum yang jelas. Hingga Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan, melarang beroperasinya ojek maupun taksi berbasis aplikasi online. Argumentasinya bersandar pada tidak tercantumnya ojek sebagai jenis transportasi umum yang diatur dalam undang-undang.

Namun ternyata, banyak juga masyarakat yang memprotes keputusan itu. Setelah media sosial bergejolak dengan tagar #saveGojek dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan menyatakan agar transportasi online tidak dilarang, Jonan memutuskan untuk mencabut Surat Pemberitahuan tersebut. 

Hingga lahirlah Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Transportasi Online, pada kepemimpinan Budi Karya. Ya walau akhirnya, Mahkamah Agung (MA) mencabut aturan itu karena bertentangan dengan UU Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta UU LLAJ.

"Menyatakan pasal-pasal dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," putus MA, sebagaimana dikutip dari website MA, Selasa (22/8/2017).

"Bahwa penyusunan regulasi di bidang transportasi berbasis teknologi dan informasi seharusnya didasarkan pada asas musyawarah mufakat yang melibatkan seluruh stakeholder di bidang jasa transportasi, sehingga secara bersama dapat menumbuhkembangkan usaha ekonomi mikro, kecil, dan menengah, tanpa meninggalkan asas kekeluargaan," demikian pertimbangan majelis yang terdiri dari Supandi, Is Sudaryono, dan Hary Djatmiko.

Lalu Bagaimana?

Rumit jika membahas masalah transportasi di Indonesia. Kusut, permasalahan transportasi mulai dari kemacetan, buruknya kondisi angkutan umum. Ditambah tidak layaknya infrastruktur penunjang transportasi menjadi momok bagi pemerintah dalam menanggulangi masalah ini. 

Permasalahan-permasalahan inilah yang membuat masyarakat demen moda transportasi berbasis aplikasi online. Di Jakarta, transportasi online sudah menjadi sebuah moda alternatif yang diinginkan masyarakat. Pasalnya transportasi konvensional menuai beberapa masalah seperti minimnya keamanan dan kenyamanan. Contohnya, ketika menggunakan bis umum yang seringkali sudah tidak layak beroperasi maupun faktor-faktor lainnya.

Namun jika melihat perkembangan ojek online yang menjamur, tampaknya ini juga masalah. Tingkat kecelakaan pun bertambah.

Kecelakaan disebabkan ojek online lewat pencarian google

Untuk itu perlu adanya batasan jam operasi dan pengendara. Seperti yang dilakukan Dinas Perhubungan (Dishub) Klaten, menetapkan ojek online maksimal 150 pengemudi.

Hal itu juga ditetapkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor. Dengan tujuan meminimalisir potensi gesekan dengan penyedia jasa angkutan umum konvensional.

Pembatasan ojek online juga berguna untuk transportasi umum, salah satunya Transjakarta. Jika itu terjadi, pola pikir masyarakat untuk bepergian menggunakan kendaraan yang "benar-benar umum" pun meningkat. Dengan begitu, jumlah antukan antar sopir bisa diminimalisir dan kecelakaan kendaraan bermotor tidak terlalu mencengangkan.




Sumber: kompas.com, rappler.com, republika.com, detik.com, tribunnews.com.

No comments:

Post a Comment

Pages