Sejumlah jenderal TNI dan Polri akan turut meramaikan Pilkada Serentak 2018, sebagai bakal calon gubernur atau wakil gubernur. Ada kegagalan sistem kaderisasi partai politik di sini. Ketidakmampuan otoritas sipil untuk memerintah secara efektif diduga penyebabnya.
“Ada tren partai mengambil jalan pintas yaitu mencoba menarik jenderal ke gelanggang politik, terkesan partai tak percaya diri mengusung kadernya sendiri," kata Pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago, kepada relatif.us, lewat rilisnya.
Adalah Dwifungsi ABRI yang menjadi doktrin tersendiri di lingkungan Militer Indonesia. Menurut Pangi, doktrin itu menyebutkan bahwa militer memiliki dua tugas, yaitu menjaga keamanan hingga ketertiban negara serta memegang kekuasaan dan mengatur negara. Peran ganda inilah yang membuat militer diizinkan untuk memegang posisi dalam pemerintahan.
Sejak Reformasi, Dwifungsi ABRI dicabut sehingga militer ditarik kembali ke barak. Di dalam UU 34 Tahun 2014, sangat jelas menyebutkan bahwa TNI tidak boleh terjun ke ranah politik praktis, atau konsekuensinya kariernya sebagai tentara profesional dicabut.
Tapi, sifat tentara tetap menurun. Dwifungsi ABRI itu sendiri membuat mereka bisa berpolitik praktis sejak dulu.
Kini para jenderal turun kembali ke politik praktis. Ada fenomena split ticket voting yaitu parpol lebih menonjolkan kandidat (figur) dibandingkan dengan kader partai sendiri, memprioritaskan figur eksternal atau melakukan ‘outsourcing’ politik dengan mengusung jenderal TNI dan Polri ketimbang mengusung kader dari rahim sendiri.
Padahal, jauh lebih baik partai politik memberikan boarding pass pada kadernya dibandingkan kader eksternal. Dealetika Meritokrasi menjadi rusak.
Kenapa tak memajukan kader sendiri yang kualitasnya tak perlu diragukan lagi?
“Ini soal masa depan partai itu sendiri, wajar kemudian menguat fenomena deparpolisasi karena ulah partai itu sendiri yang tak menghormati kadernya,” jelas Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting ini.
Ada konsekuensi logis dari keputusan mengambil atau mengusung calon kepala daerah yang bukan kader partai. Pertama, tentu sangat sulit mengontrol dan mengawasi kepala daerah eksternal yang bukan kadernya dibandingkan kader partai. Kedua, tentu lebih besar potensi kutu loncat atau lompat pagar kader eksternal.
Di saat citra institusi TNI sentimennya positif --lembaga yang paling dipercaya publik-- parpol mengambil momentum tersebut mengusung jenderal aktif maupun yang sudah purnawirawan.
Ketegasan dan kedisiplinan pemimpin dari TNI dan Polri bisa jadi unggulan. Namun di sisi lain karakter pemimpin garis komando juga punya kelemahan. Seperti persoalan bagaimana mereka menyesuaikan dengan ritme tata cara kerja sipil, kepemimpinan latar belakang sipil dengan pola kerja garis putus putus, egaliter dan berbasis konsensus.
Demokrasi memberi peluang bagi setiap warga negara untuk ikut berkontestasi. Namun yang jadi soal adalah TNI dan Polri masih aktif. Mereka belum wajib pensiun karena belum terdaftar sebagai pasangan calon, namun sudah berselancar manuver politik dan curi start kampanye terselubung dengan memakai seragam prajurit.
"Yang tak boleh adalah menggunakan jejaring institusi militernya untuk dijadikan sebagai komoditas politik pemenangan,” tegas tokoh yang juga lulusan S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini.
Memang terjunnya TNI dan Polri ke gelanggang politik bukan fenomena baru. Saat era demokrasi terpimpin ada segi tiga emas kekuatan politik yaitu Soekarno, PKI dan Angkatan Darat. Akan tetapi, saat kekuatan politik Soekarno dan PKI melemah, muncul kekuatan pemenang yaitu angkatan darat.
Sejak itu militer mulai berpolitik praktis lewat kendaraan sekber Golkar, tidak mengaku sebagai partai politik namun mendukung pemerintah, mesin Golkar pada waktu itu digerakkan para jenderal. Oleh karenanya, berbicara sistem politik Indonesia tidak bisa lepas dari peran militer dalam kancah politik itu sendiri. Maka, militer di Pilkada 18 patut dicurigai.
“Sekali lagi partai politik jangan coba-coba bermain mata dengan prajurit aktif, menarik-narik dan menggoda TNI untuk masuk ke gelanggang politik. Termasuk tidak menarik-narik, menggoda atau merayu-rayu Aparatur Sipil Negara (ASN) ke ranah politik praktis. Ini pertaruhan yang maha berbahaya dan tidak main-main. Bagaimana kita menjaga dan mengingatkan kembali agar TNI/Polri dan ASN menjaga netralitas," jelasnya.
Perlukah militer di Pilkada Serentak 2018 patut dicurigai?
Ilustrasi (tribune.com) |
“Ada tren partai mengambil jalan pintas yaitu mencoba menarik jenderal ke gelanggang politik, terkesan partai tak percaya diri mengusung kadernya sendiri," kata Pengamat politik, Pangi Syarwi Chaniago, kepada relatif.us, lewat rilisnya.
"Ambisi bintang TNI Polri di Pilkada semakin menguat akhir-akhir ini di saat partai gagal melakukan kaderisasi,”
Adalah Dwifungsi ABRI yang menjadi doktrin tersendiri di lingkungan Militer Indonesia. Menurut Pangi, doktrin itu menyebutkan bahwa militer memiliki dua tugas, yaitu menjaga keamanan hingga ketertiban negara serta memegang kekuasaan dan mengatur negara. Peran ganda inilah yang membuat militer diizinkan untuk memegang posisi dalam pemerintahan.
Sejak Reformasi, Dwifungsi ABRI dicabut sehingga militer ditarik kembali ke barak. Di dalam UU 34 Tahun 2014, sangat jelas menyebutkan bahwa TNI tidak boleh terjun ke ranah politik praktis, atau konsekuensinya kariernya sebagai tentara profesional dicabut.
Tapi, sifat tentara tetap menurun. Dwifungsi ABRI itu sendiri membuat mereka bisa berpolitik praktis sejak dulu.
Kini para jenderal turun kembali ke politik praktis. Ada fenomena split ticket voting yaitu parpol lebih menonjolkan kandidat (figur) dibandingkan dengan kader partai sendiri, memprioritaskan figur eksternal atau melakukan ‘outsourcing’ politik dengan mengusung jenderal TNI dan Polri ketimbang mengusung kader dari rahim sendiri.
Padahal, jauh lebih baik partai politik memberikan boarding pass pada kadernya dibandingkan kader eksternal. Dealetika Meritokrasi menjadi rusak.
Kenapa tak memajukan kader sendiri yang kualitasnya tak perlu diragukan lagi?
“Ini soal masa depan partai itu sendiri, wajar kemudian menguat fenomena deparpolisasi karena ulah partai itu sendiri yang tak menghormati kadernya,” jelas Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting ini.
Ada konsekuensi logis dari keputusan mengambil atau mengusung calon kepala daerah yang bukan kader partai. Pertama, tentu sangat sulit mengontrol dan mengawasi kepala daerah eksternal yang bukan kadernya dibandingkan kader partai. Kedua, tentu lebih besar potensi kutu loncat atau lompat pagar kader eksternal.
Di saat citra institusi TNI sentimennya positif --lembaga yang paling dipercaya publik-- parpol mengambil momentum tersebut mengusung jenderal aktif maupun yang sudah purnawirawan.
Ketegasan dan kedisiplinan pemimpin dari TNI dan Polri bisa jadi unggulan. Namun di sisi lain karakter pemimpin garis komando juga punya kelemahan. Seperti persoalan bagaimana mereka menyesuaikan dengan ritme tata cara kerja sipil, kepemimpinan latar belakang sipil dengan pola kerja garis putus putus, egaliter dan berbasis konsensus.
Pangi Syarwi Chaniago (poskotanews) |
Demokrasi memberi peluang bagi setiap warga negara untuk ikut berkontestasi. Namun yang jadi soal adalah TNI dan Polri masih aktif. Mereka belum wajib pensiun karena belum terdaftar sebagai pasangan calon, namun sudah berselancar manuver politik dan curi start kampanye terselubung dengan memakai seragam prajurit.
"Yang tak boleh adalah menggunakan jejaring institusi militernya untuk dijadikan sebagai komoditas politik pemenangan,” tegas tokoh yang juga lulusan S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini.
Memang terjunnya TNI dan Polri ke gelanggang politik bukan fenomena baru. Saat era demokrasi terpimpin ada segi tiga emas kekuatan politik yaitu Soekarno, PKI dan Angkatan Darat. Akan tetapi, saat kekuatan politik Soekarno dan PKI melemah, muncul kekuatan pemenang yaitu angkatan darat.
Sejak itu militer mulai berpolitik praktis lewat kendaraan sekber Golkar, tidak mengaku sebagai partai politik namun mendukung pemerintah, mesin Golkar pada waktu itu digerakkan para jenderal. Oleh karenanya, berbicara sistem politik Indonesia tidak bisa lepas dari peran militer dalam kancah politik itu sendiri. Maka, militer di Pilkada 18 patut dicurigai.
“Sekali lagi partai politik jangan coba-coba bermain mata dengan prajurit aktif, menarik-narik dan menggoda TNI untuk masuk ke gelanggang politik. Termasuk tidak menarik-narik, menggoda atau merayu-rayu Aparatur Sipil Negara (ASN) ke ranah politik praktis. Ini pertaruhan yang maha berbahaya dan tidak main-main. Bagaimana kita menjaga dan mengingatkan kembali agar TNI/Polri dan ASN menjaga netralitas," jelasnya.
No comments:
Post a Comment