Liu Guangjian, dari Balai Peringatan Korban Pembantaian Nanjing oleh Penyerbu Jepang, telah meneliti masalah "wanita penghibur" itu. Ia mengatakan, hanya 15 yang berhasil selamat dan mau bersaksi di depan publik. Tahun lalu, Guanjian coba mengungjungi tujuh orang di Hainan, tapi dua di antaranya telah meninggal.
Guangjian mengatakan, dua orang telah bersaksi soal penderitaan mereka di rumah bordil militer Jepang. "Satu dari Hunan, dan satu lagi dari Zhejiang," katanya. Dua orang itu membuka mata wanita pejuang lainnya yang tidak sadar kalau telah dijadikan budak seks.
He Yuelian, seorang pejuang yang telah bersaksi 36 tahun lalu, masih trauma dengan kejadian itu. Bahkan perempuan 89 tahun itu bisa berteriak "Keluar! Keluar" siang dan malam.
Pada 1943, Yuelian masih berusia 15 tahun saat tentara Jepang menggeledah rumahnya di wilayah Wuxiang, Provinsi Shanxi. Para tentara menggeledah desanya, menyiksa, membunuh beberapa pria. Dua tentara memerkosa Yuelian sebelum menculiknya bersama enam gadis lain untuk dijadikan budak seks di rumah bordil militer.
"Saya berdarah akibat pemerkosaan itu, tapi mereka tidak berhenti melakukannya sambil melakukan penyiksaan," kata Yuelian dengan muka yang terlihat murka.
Militer Jepang saat itu mengumpulkan wanita-wanita dari seluruh Asia-Pasifik untuk dijadikan budak seks. Di China sendiri, ada lebih dari seribu wanita penghibur. Sementara menurut para intelektual, lebih dari 400 ribu wanita telah memuaskan hasrat seks tentara.
Tentara Jepang bahkan mendirikan stasiun budak seks pertama di Shanghai pada 1931. Mereka kemudian mendirikan rumah pelacuran militer di seluruh China dan Asia Timur dan Tenggara selama perang dunia kedua.
Yuelian yang saat itu sempat akan dikirim ke stasiun seks tersebut, malah dipulangkan karena terus berdarah. Tapi bukan berarti selesai, karena dia diculik lagi ke rumah bordil militer lainnya selama dua bulan.
Ia terus diperkosa dan diperkosa. Hingga suatu hari, satu penduduk desanya melihat dia dan memberitahu keluarganya. Pihak keluarga Yuelian pun menggalang dana untuk menebusnya dari tentara Jepang.
Namun setelah di rumah, Yuelian malah depresi dan kesehatannya memburuk. Di usia ke-18, ia akhirnya menikah meski tidak bisa hamil karena terlalu sering diperkosa.
"Saya begitu tertekan. Mereka mengambil semuanya dari saya. Saya begitu polos saat itu dan tidak mengerti apa yang saya lakukan. Ini merupakan mimpi buruk yang tidak akan berakhir," ucapnya.
Ia mengaku tidak akan berhenti untuk meminta kompensasi dan permohonan maaf dari Jepang. "Saya mengingat semua kejahatan mereka. Bukankah pemerintah Jepang akan bertanggungjawab atas tindakan brutal ini? Kami hanya wanita biasa, tapi menjadi cacat. Karena ini, kami menunggu pembersihan hutang ini oleh orang-orang Jepang," kata Yuelian.
Akhirnya perang berakhir, namun Yuelian masih belum punya anak. Adiknya, yang iba terhadapnya, memberikan seorang bayi perempuannya untuk diadopsi. Anak itu jugalah yang membuat Yuelian kuat menjalani hidup.
"Saya bertahan karena anak angkat saya dan cinta spesial di antara kami. Merawat dia membuatku terus berjalan," kata Yuelian.
Anaknya, Cheng Aixian, pun bertumbuh besar. Yuelian dan suaminya berhasil bertahan hidup dengan menjual jagung dan biji-bijian.
"Ibuku melakukan semua hal yang berakitan dengan petani. Dia menggali sungai, menanam pohon, untk bertahan hidup. Karena mereka begitu miskin," kata Aixian.
Axian tumbuh terus, hingga berusia 53 tahun pada 1981. Ia bersama wanita-wanita yang juga korban perbudakan seks, mengambil jalan hukum untuk menuntut Jepang demi mendapatkan kompensasi dan permintaan maaf.
Memang ia akui sangat lamban untuk mengambil tindakan. Namun bukan karena tidak berani, melainkan malu. "Saya begitu malu untuk membicarakannya," kata Axian. Bahkan ia yakin ada mantan wanita penghibur lainnya yang memilih diam sampai mati.
Perjuangan Axian terus berlanjut. Bersama menantu laki-laki Yuelian, Bai Zengfa, ia berjanji tetap berjuang selama masih hidup. "Kami telah mengatakannya ke dunia. Aku tidak akan berhenti meminta keadilan bagi ibuku. Pihak Jepang harus meminta maaf di depan ibu dan korban pelecehan lainnya secara langsung," kata Axian.
Hingga tujuh tahun kemudian, setelah 1981, Yuelian bertemu banyak orang Jepang untuk pertama kali setelah pelecehan di stasiun perempuan penghibur. Namun mereka bukan tentara melainkan rekonsiliasi Kristen Jepang yang disebut Jembatan Pelangi Sungai Penyembuhan.
Yuelian bersama Jembatan Pelangi Sungai Penyembuhan |
Mereka mengunjungi orang-orang yang selamat beserta keluarganya untuk meminta maaf atas perlakuan tentara Jepang. Tomoko Hasegawa, salah satu pemimpin kelompok tersebut, mengaku terinspirasi dengan seorang mantan tentara Jepang.
Tentara itu membantu Wan Aihua, wanita penghibur pertama China, untuk menceritakan pengalamannya sebagai budak seks di militer Jepang. Karena itu, ia dan kelompoknya berharap dapat mengungkap banyak kasus serupa.
Mereka ingin membuktikan sejarah dan membawa penyembuhan bagi korban perbudakan, anak-anak mereka, dan generasi masa depan di China, Jepang dan Korea. Hasegawa jugalah yang membuat Yuelian, Axian, dan Bai, mengubah pandangan mereka terhadap orang-orang Jepang.
"Kami menangis tersentuh atas permintaan maaf mereka. Perasaan itu begitu rumit. Saya sangat membenci tentara Jepang dan apa yang mereka lakukan sebelumnya. Tapi kini kami tidak lagi membenci orang Jepang," jelas Axian.
Meski begitu, masyarakat Cina masih butuh permohonan maaf Jepang. Jika tidak, masyarakat Cina akan terus melakukan gerakan perlawanan. "Paling tidak, permintaan maaf bisa disampaikan melalu televisi atau media," kata Zhang Shuangbing, salah satu mantan korban budak seks.
Untuk diketahui, dalam sebuah pidato dua tahun lalu, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe kembali meminta maaf dengan tulus atas tindakan negaranya selama perang. Namun ia tidak menyebutkan secara langsung penderitaan wanita yang jadi budak seks di Nanking.
Sebelumnya, pada 1993, Pemerintah Jepang juga mengeluarkan sebuah permintaan maaf melalui sebuah pernyataan yang mengakui peran pemerintah Jepang dalam memaksa para wanita. Namun hal itu dilakukan oleh sekretaris kabinet, Yohei Kono.
No comments:
Post a Comment