Avip Priatna, mungkin terdengar asing di telinga mereka yang tidak mengenal dunia paduan suara. Padahal, banyak kompetisi paduan suara kelas dunia yang berhasil dimenanginya. Dengan suara-suara indah yang terlahir karena kemampuan melatih dan bermusiknya yang orisinil, membuatnya berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.
Avip Priatna merupakan lulusan Teknik Arsitektur Universitas Parahyangan. Namun pria yang saat ini sudah berumur 54 tahun tak berkecimpung dalam dunia rancang bangunan. Dia malah memilih mengarsiteki paduan suara dan besar di dunia musik klasik. Kecintaannya pada dunia paduan suara dan musik klasik tumbuh saat dia kuliah.
“Biasanya saya buru-buru kabur dari kelas dan lari ke tempat latihan paduan suara atau latihan piano,” ujar Avip mengenang saat-saat indah bersama kelompok paduan suaranya.
Begitu lulus kuliah, Avip terbang ke Vienna, Austria, untuk belajar konduktor paduan suara kepada Profesor Gunther Theuring dan orchestral conducting kepada Leopold Hager di Hochschule fur Muzick und Darstellende Kunst dan lulus pada 1998 dengan predikat high distinction. Selama di Austria, ia bergabung dengan banyak kelompok kor prestisius dan pernah menjadi asisten konduktor di Wiener Jeunesse Choir.
Karier Avip menjadi konduktor profesional diawali dengan pementasan Requiem karya Mozart bersama paduan suara mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan pada 1991. Pada 2002, dia mendirikan Jakarta Concert Orchestra. Sejak itu, dia mulai tampil di sejumlah orkestra internasional, seperti Orchestra Ensemble Kanazawa, Jepang, dan Macau.
Kerja kerasnya membuahkan hasil ketika Avip membawa grupnya memenangi sebuah kompetisi paduan suara internasional bergengsi di Floriledge Vocal de Tours Prancis pada 2011 dan sebuah kompetisi paduan suara di Belanda pada 2005. “Itu perjuangan banget, harus cari duit, dari jualan bubur, mencari anggota yang solid, latihan, dan akhirnya menang,” ujarnya.
Pada Juli 2011, Avip menyabet penghargaan Premio a la Mejor Dirección ”Hódar José Talavera” untuk konduktor terbaik dalam kompetisi paduan suara internasional ke-57 Certamen Internacional de Habaneras y Polifonia. Kompetisi ini berlangsung di Torrevieja, Spanyol. Tak hanya Avip, bersama Batavia Madriagal, mereka memenangi empat penghargaan lain.
Titel sebagai konduktor terbaik juga diraih dalam kompetisi tahunan 34th International May Choir Competition Prof Georgi Dimitrov pada 2012 di Varna, Bulgaria. Dia dan Batavia Madrigal Singers meraih angka tertinggi untuk kategori paduan suara kamar dan paduan suara campuran. Dengan kemenangan itu, mereka menjadi wakil Asia untuk kejuaraan Grand Prix di Arezzo, Italia, pada 2013. Setahun kemudian, paduan suara anak-anak di The Resonanz pun meraih grand prize di 10th Cantemus International Choir Festival yang diselenggarakan di NyÃregyháza, Hungaria.
Sukses membentuk kelompok paduan suara, orkestra, tahun lalu mimpi Avip untuk mempunyai gedung konser musik terwujud. Balai Resital Kertanegara, gedung berkapasitas 300 kursi dengan berbagai kelengkapannya itu, resmi digunakan sebagai gedung konser musik pada 25 Mei 2014. Tapi Avip masih mempunyai impian lain yang menurut dia tak muluk-muluk. “Inginnya punya gedung konser yang lebih besar dan mengembangkan musik klasik yang bisa dinikmati orang banyak,” ujarnya.
Pria berkacamata ini boleh berbangga hati. Hasil kerjanya mulai menuai hasil. Dia cukup senang melihat masyarakat mulai mengapresiasi musik, musik klasik, dan paduan suara. Setidaknya, dia melihat dari frekuensi penyelenggaraan konser dan gedung pertunjukan yang penuh. “Itulah yang mendorong saya mendirikan balai resital ini,” jelasnya.
Bahkan belakangan, kalau kalian mencari di berita, Avip Priatna baru saja membawa paduan suara yang mewakili Indonesia menjadi juara umum di kompetisi internasional 48th Tolosa Choral Contest di kotaTolosa, Spanyol, 28 Oktober - 1 November 2016.
Kompetisi Tolosa Choral Contest adalah salah satu dari kompetisi-kompetisi paduan suara tersulit di dunia yang tergabung dalam European Grand Prix in Choral Singing (EGP). Tahun ini di Tolosa, diikuti oleh paduan suara dari beberapa negara, antara lain Norwegia, Taiwan, Lituania, Kolombia, Slovenia, Italia, Jerman, Kuba, Spanyol, Hungaria, Belanda, Latvia, Inggris, dan Swedia.
Selain berlaga di ajang kompetisi, Avip juga membawa BMS tampil pada serangkaian konser di kota-kota di sekitar Tolosa. Konser berlangsung antara lain di kota-kota Beasain, San Sebastia, dan Pamplona. BMS juga akan mempersembahkan konser di Kota Sevilla pada 3 November 2016 yang diorganisir oleh Centro de Iniciativas Culturales de la Universidad de Sevilla (CICUS).
Kelompok BMS kerap lolos seleksi untuk berlaga dan berprestasi. Pada 2001, BMS menjuarai kategori Free Program pada kompetisi Florilège Vocal de Tours di Perancis. Pada 2012, BMS besutan Avip juga pernah menjadi juara umum (Grand Prix) pada kompetisi International May Choir Competition 'Prof G. Dimitrov'.
Harmoni dalam keberagaman merupakan semangat yang nampak di dalam kelompok ini. Mereka berlatih di The Resonanz Music Studio, sekolah musik pimpinan Avip Priatna yang terletak di Jalan Kertanegara No. 28, Jakarta.
Soal Plagiarisme
Nilai otentik suatu karya kerap dipertanyakan para penikmatnya. Bahkan, orang yang mengamati juga kerap mengoreksinya. Jika sial, karya yang seharusnya otentik, bisa diduga tidak otentik. Jika sudah begitu, orang hukum pun ikut-ikut mengoreksi, dan dibawa ke pengadilan, lalu dipenjara.
Berbicara soal masalah plagiat itu, konduktor paduan suara, Avip Priatna, memberikan komentarnya. Konduktor yang kerap memenangi kompetisi paduan suara kelas dunia satu ini mengatakan bahwa menjiplak itu boleh-boleh saja.
Apa? Gimana sih nih maksudnya. Katanya plagiat bisa kena hukum? kok malah dibolehin?
Tenang. Yang dimaksud “boleh-boleh saja” itu bukan berarti menghalalkan plagiarisme. Apa mungkin konduktor yang baru saja membawa paduan suara Indonesia menjadi juara umum di kompetisi internasional 48th Tolosa Choral Contest di kotaTolosa, Spanyol, 28 Oktober - 1 November 2016 ini melakukan plagiarisme?
Beliau saja memakai karya aransemennya untuk dipertandingkan dan menjadi juara, masa ia dia plagiat?
Ketika ditanya salah satu redaksi Ambigu soal plagiarisme, Mas Avip sempat tertawa. “Waduh,” ucapnya lalu tertawa.
“Kalau mengambil ide dikit-dikit boleh ya, namanya juga belajar. Tapi kalau menjiplak total dan dikatakan karyanya sendiri? Ya suatu tindakan yang sangat tidak etis,” jelas Konduktor sekaligus pemilik sekolah musik The Resonanz Music Studio yang terletak di Jalan Kertanegara No. 28, Jakarta.
Iseng bertanya, redaksi Ambigu menyinggung soal proses belajar Mas Avip. “Mas Avip sendiri, waktu belajar juga menggunakan metode ambil ide dikit-dikit donk? Gimana sih mas caranya? Biar mahasiswa-mahasiswa gak asal embat,” kata Avip.
Mas Avip yang murah senyum itu pun menjawab bahwa dia tidak menjimplak ide dalam proses belajarnya. Ia hanya mencari inspirasi dan mengkreasikannya. Begitu pun dengan mahasiswa. “Bukan menjiplak ide, tapi menjadi inspirasi lah. Selebihnya ya kita kreasikan sendiri,” itu saran Mas Avip.
Mas Avip pun kembali menegaskan bahwa menjiplak itu tindakan yang tidak etis. Ia pun berharap mahasiswa tidak melakukan penjiplakan. Pria yang saat ini sudah berumur 52 tahun ini, menganjurkan untuk tetap menggunakan cara yang dia sarankan. “Ya kembali lagi seperti saya bilang. Ambil idenya, tapi kita kreasikan menurut versi kita,” tegasnya.
Jadi, plagiarisme selain dapat dihukum juga melanggar kode etis. Untuk diketahui, Mas Avip Priatna ini adalah seorang konduktor Batavia Madrigal Singers (BMS) dan Paduan suara anak-anak Indonesia The Resonanz Childrens Choir (TRCC), yang berada dibawah naungan manajemennya, yakni The Resonanz.
Titel sebagai konduktor terbaik pernah diraih Mas Avip dalam kompetisi tahunan 34th International May Choir Competition Prof Georgi Dimitrov pada 2012 di Varna, Bulgaria. Dia dan Batavia Madrigal Singers meraih angka tertinggi untuk kategori paduan suara kamar dan paduan suara campuran. Dengan kemenangan itu, mereka
Avip Priatna merupakan lulusan Teknik Arsitektur Universitas Parahyangan. Namun pria yang saat ini sudah berumur 54 tahun tak berkecimpung dalam dunia rancang bangunan. Dia malah memilih mengarsiteki paduan suara dan besar di dunia musik klasik. Kecintaannya pada dunia paduan suara dan musik klasik tumbuh saat dia kuliah.
Avip Priatna |
“Biasanya saya buru-buru kabur dari kelas dan lari ke tempat latihan paduan suara atau latihan piano,” ujar Avip mengenang saat-saat indah bersama kelompok paduan suaranya.
Begitu lulus kuliah, Avip terbang ke Vienna, Austria, untuk belajar konduktor paduan suara kepada Profesor Gunther Theuring dan orchestral conducting kepada Leopold Hager di Hochschule fur Muzick und Darstellende Kunst dan lulus pada 1998 dengan predikat high distinction. Selama di Austria, ia bergabung dengan banyak kelompok kor prestisius dan pernah menjadi asisten konduktor di Wiener Jeunesse Choir.
Karier Avip menjadi konduktor profesional diawali dengan pementasan Requiem karya Mozart bersama paduan suara mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan pada 1991. Pada 2002, dia mendirikan Jakarta Concert Orchestra. Sejak itu, dia mulai tampil di sejumlah orkestra internasional, seperti Orchestra Ensemble Kanazawa, Jepang, dan Macau.
Kerja kerasnya membuahkan hasil ketika Avip membawa grupnya memenangi sebuah kompetisi paduan suara internasional bergengsi di Floriledge Vocal de Tours Prancis pada 2011 dan sebuah kompetisi paduan suara di Belanda pada 2005. “Itu perjuangan banget, harus cari duit, dari jualan bubur, mencari anggota yang solid, latihan, dan akhirnya menang,” ujarnya.
Pada Juli 2011, Avip menyabet penghargaan Premio a la Mejor Dirección ”Hódar José Talavera” untuk konduktor terbaik dalam kompetisi paduan suara internasional ke-57 Certamen Internacional de Habaneras y Polifonia. Kompetisi ini berlangsung di Torrevieja, Spanyol. Tak hanya Avip, bersama Batavia Madriagal, mereka memenangi empat penghargaan lain.
Titel sebagai konduktor terbaik juga diraih dalam kompetisi tahunan 34th International May Choir Competition Prof Georgi Dimitrov pada 2012 di Varna, Bulgaria. Dia dan Batavia Madrigal Singers meraih angka tertinggi untuk kategori paduan suara kamar dan paduan suara campuran. Dengan kemenangan itu, mereka menjadi wakil Asia untuk kejuaraan Grand Prix di Arezzo, Italia, pada 2013. Setahun kemudian, paduan suara anak-anak di The Resonanz pun meraih grand prize di 10th Cantemus International Choir Festival yang diselenggarakan di NyÃregyháza, Hungaria.
Sukses membentuk kelompok paduan suara, orkestra, tahun lalu mimpi Avip untuk mempunyai gedung konser musik terwujud. Balai Resital Kertanegara, gedung berkapasitas 300 kursi dengan berbagai kelengkapannya itu, resmi digunakan sebagai gedung konser musik pada 25 Mei 2014. Tapi Avip masih mempunyai impian lain yang menurut dia tak muluk-muluk. “Inginnya punya gedung konser yang lebih besar dan mengembangkan musik klasik yang bisa dinikmati orang banyak,” ujarnya.
Pria berkacamata ini boleh berbangga hati. Hasil kerjanya mulai menuai hasil. Dia cukup senang melihat masyarakat mulai mengapresiasi musik, musik klasik, dan paduan suara. Setidaknya, dia melihat dari frekuensi penyelenggaraan konser dan gedung pertunjukan yang penuh. “Itulah yang mendorong saya mendirikan balai resital ini,” jelasnya.
Bahkan belakangan, kalau kalian mencari di berita, Avip Priatna baru saja membawa paduan suara yang mewakili Indonesia menjadi juara umum di kompetisi internasional 48th Tolosa Choral Contest di kotaTolosa, Spanyol, 28 Oktober - 1 November 2016.
Kompetisi Tolosa Choral Contest adalah salah satu dari kompetisi-kompetisi paduan suara tersulit di dunia yang tergabung dalam European Grand Prix in Choral Singing (EGP). Tahun ini di Tolosa, diikuti oleh paduan suara dari beberapa negara, antara lain Norwegia, Taiwan, Lituania, Kolombia, Slovenia, Italia, Jerman, Kuba, Spanyol, Hungaria, Belanda, Latvia, Inggris, dan Swedia.
Selain berlaga di ajang kompetisi, Avip juga membawa BMS tampil pada serangkaian konser di kota-kota di sekitar Tolosa. Konser berlangsung antara lain di kota-kota Beasain, San Sebastia, dan Pamplona. BMS juga akan mempersembahkan konser di Kota Sevilla pada 3 November 2016 yang diorganisir oleh Centro de Iniciativas Culturales de la Universidad de Sevilla (CICUS).
Kelompok BMS kerap lolos seleksi untuk berlaga dan berprestasi. Pada 2001, BMS menjuarai kategori Free Program pada kompetisi Florilège Vocal de Tours di Perancis. Pada 2012, BMS besutan Avip juga pernah menjadi juara umum (Grand Prix) pada kompetisi International May Choir Competition 'Prof G. Dimitrov'.
Harmoni dalam keberagaman merupakan semangat yang nampak di dalam kelompok ini. Mereka berlatih di The Resonanz Music Studio, sekolah musik pimpinan Avip Priatna yang terletak di Jalan Kertanegara No. 28, Jakarta.
Soal Plagiarisme
Nilai otentik suatu karya kerap dipertanyakan para penikmatnya. Bahkan, orang yang mengamati juga kerap mengoreksinya. Jika sial, karya yang seharusnya otentik, bisa diduga tidak otentik. Jika sudah begitu, orang hukum pun ikut-ikut mengoreksi, dan dibawa ke pengadilan, lalu dipenjara.
Berbicara soal masalah plagiat itu, konduktor paduan suara, Avip Priatna, memberikan komentarnya. Konduktor yang kerap memenangi kompetisi paduan suara kelas dunia satu ini mengatakan bahwa menjiplak itu boleh-boleh saja.
Apa? Gimana sih nih maksudnya. Katanya plagiat bisa kena hukum? kok malah dibolehin?
Tenang. Yang dimaksud “boleh-boleh saja” itu bukan berarti menghalalkan plagiarisme. Apa mungkin konduktor yang baru saja membawa paduan suara Indonesia menjadi juara umum di kompetisi internasional 48th Tolosa Choral Contest di kotaTolosa, Spanyol, 28 Oktober - 1 November 2016 ini melakukan plagiarisme?
Beliau saja memakai karya aransemennya untuk dipertandingkan dan menjadi juara, masa ia dia plagiat?
Ketika ditanya salah satu redaksi Ambigu soal plagiarisme, Mas Avip sempat tertawa. “Waduh,” ucapnya lalu tertawa.
“Kalau mengambil ide dikit-dikit boleh ya, namanya juga belajar. Tapi kalau menjiplak total dan dikatakan karyanya sendiri? Ya suatu tindakan yang sangat tidak etis,” jelas Konduktor sekaligus pemilik sekolah musik The Resonanz Music Studio yang terletak di Jalan Kertanegara No. 28, Jakarta.
Bahkan, Mas Avip mengatakan, bahwa plagiarisme adalah suatu tindakan yang “Merendahkan harga diri sendiri,” tegasnya.
Iseng bertanya, redaksi Ambigu menyinggung soal proses belajar Mas Avip. “Mas Avip sendiri, waktu belajar juga menggunakan metode ambil ide dikit-dikit donk? Gimana sih mas caranya? Biar mahasiswa-mahasiswa gak asal embat,” kata Avip.
Mas Avip yang murah senyum itu pun menjawab bahwa dia tidak menjimplak ide dalam proses belajarnya. Ia hanya mencari inspirasi dan mengkreasikannya. Begitu pun dengan mahasiswa. “Bukan menjiplak ide, tapi menjadi inspirasi lah. Selebihnya ya kita kreasikan sendiri,” itu saran Mas Avip.
Mas Avip pun kembali menegaskan bahwa menjiplak itu tindakan yang tidak etis. Ia pun berharap mahasiswa tidak melakukan penjiplakan. Pria yang saat ini sudah berumur 52 tahun ini, menganjurkan untuk tetap menggunakan cara yang dia sarankan. “Ya kembali lagi seperti saya bilang. Ambil idenya, tapi kita kreasikan menurut versi kita,” tegasnya.
Jadi, plagiarisme selain dapat dihukum juga melanggar kode etis. Untuk diketahui, Mas Avip Priatna ini adalah seorang konduktor Batavia Madrigal Singers (BMS) dan Paduan suara anak-anak Indonesia The Resonanz Childrens Choir (TRCC), yang berada dibawah naungan manajemennya, yakni The Resonanz.
Titel sebagai konduktor terbaik pernah diraih Mas Avip dalam kompetisi tahunan 34th International May Choir Competition Prof Georgi Dimitrov pada 2012 di Varna, Bulgaria. Dia dan Batavia Madrigal Singers meraih angka tertinggi untuk kategori paduan suara kamar dan paduan suara campuran. Dengan kemenangan itu, mereka
No comments:
Post a Comment