Rudi







Hai, namaku Rudi. Aku berperawakan tinggi, berkulit sawo matang, dan tidak tampan. Aku punya mimpi yang belum diketahui sampai saat ini, bahkan oleh diriku sendiri. Setiap malam aku berdoa meminta pengampunan dosa, karena mungkin banyaknya dosa yang membuat Tuhan enggan memberitahuku soal itu. Ya, aku hidup tanpa target dan menjalaninya begitu mengalir tanpa tujuan.

Kemarin malam aku baru saja bertemu perempuan. Dia berparas cantik, putih, dan rambutnya panjang menjulang. Dia begitu indah di mataku. Namun, saat aku mencoba membuka pembicaraan, dia tak menghiraukanku. Ya, aku lupa kalau dia sudah meninggal. “Dasar Rudi, membedakan perempuan beneran dan perempuan gaib saja gak bisa,” gumamku.

Sehari-hari aku hidup penuh kebingungan. Bingung mau ke mana, bingung berbicara apa, bingung mau makan apa, hingga bingung diri ini siapa. Hidupku penuh tanda tanya. Bahkan Google saja sudah tak mampu menjawab pertanyaanku yang semakin tak menentu.

“Mah, ini apa?” tanyaku ke Mamah yang jarang-jarang main ke rumah.
“Ini sendok sayang. Alat ini dapat membantumu memperpanjang hidup,” jelas Mamah sambil memainkan rambutku dengan jari-jari tangannya.

Mamah masih berdiri di sampingku dan melihatku memakan bubur yang dibelinya dari persimpangan komplek. Sebenarnya aku ingin bertanya seputar tukang bubur itu, tapi aku takut ia marah, jadi kuurungkan niatku.

Saat itu siang di hari Jumat. Selama hidupku, aku sangat paham bahwa Jumat adalah hari terpanas dalam sepekan. Entah faktor apa yang membuat matahari begitu membara memamerkan keahliannya. Mungkin setiap Jumat, ada bintang nan jauh di sana yang menghadap ke arahnya? Yasudahlah, biarkan sang matahari memamerkan pesonanya, aku mau tidur.

Aku suka sekali tidur. Di saat aku tertidur, kisah di dalam mimpiku seakan memainkan peranku yang begitu krusial dan berharga. Di dalam mimpi ini aku begitu dihargai baik suara dan segala tindakanku.

“Terimakasih-terimakasih,” ujarku mengigau.
“Bangun!” teriak seorang lelaki dewasa yang suaranya begitu familiar di kupingku. Setiap mendengar suaranya, aku selalu tak ingin melihat dunia, tapi aku harus melihatnya. “Dasar bodoh! Hidup seperti keledai, tak punya tujuan, kerjanya tidur melulu, seakan tak punya otak yang bisa diandalkan.”
Aku takut.
“Kenapa? Cepat kerjakan sesuatu!” bentaknya sambil menarikku keluar.
Aku bingung, aku di mana, dan sedang apa. “Ini di mana? Aku siapa? Mengapa aku tak tahu aku harus kemana? Tolong bantu aku. Aku bodoh aku tahu, tapi tolong biarkan aku tahu aku harus ke mana….” ujarku lalu menangis.


Aku berjalan sambil mengingat apa yan terjadi tadi. Ketakutan masih melingkupi setiap kali suara itu terngiang di kepalaku. Aku menggelengkan kepala begitu keras dengan harapan suara itu bisa lenyap. Aku tak ingin mengingatnya lagi.

Di saat aku berjalan, aku melihat sekumpulan anak seusiaku yang kuanggap teman baikku. Mereka begitu seru bila sudah berkumpul bersama-sama.“Hei, kalian bermain apa?” tanyaku sambil berlari sedikit melompat tanda aku bahagia melihat mereka.

“Enyahlah! Pergi!” ujar Felix yang berwajah paling tampan di antara yang lain.

Mereka pun kompak membuat lingkaran yang sepertinya dimanfaatkan untuk berdiskusi. Setelah aku sampai, mereka menelanjangiku dan membuat aku malu. “Hai kawan-kawan. Tolong kembalikan celanaku, aku mohon. Ini begitu memalukan. Tolong aku tak pernah seperti ini,” ujarku sambil berlari mengejar celanaku yang dioper ke sana-ke mari.

Aku pun terus berusaha meraih celana itu, hingga aku tak sengaja membuat salah satu temanku terjatuh. “Maaf,” ucapku menyesal.

Ternyata, maafku tak diterima. Aku dilempari pasir yang membuatku mataku begitu pedih tak bisa melihat dengan jelas. Mereka pun pergi meninggalkan aku sendirian. “Aku minta maaf ya teman-teman,” ucapku sambil berusaha untuk melihat dengan jelas arah mereka pulang.

Aku pun berdiri dan memakai celanaku. Aku tak tahu apa aku harus marah, tapi yang aku tahu aku malu bila tak bercelana. Aku bahagia melihat mereka mau bermain denganku, tapi aku tak mau bila tanpa celana, aku tak biasa.

“Rudi?” ujar seorang wanita seumuranku yang sepertinya aku tahu dia siapa. Biar kutebak. “Friska!”

“Yap, kau selalu benar dalam hal ini. Sedang apa kau di sini?” tanya Friska kepadaku.

Aku suka Friska, karena dia mau bertanya tentang apa yang aku lakukan meski itu hanya sebentar. “Ya biasa Fris. Mencari jawaban,” ujarku.

“Jawaban apa lagi Rud? Ujian Nasional? Kau jadi agen kunci jawaban sekarang?” ucapnya seraya tertawa.

“Ya kali Fris. Kan kamu tahu kalau aku ini bodoh. Ya aku tak mungkin menghabiskan hariku tanpa mencari dan menemukan jawaban lah, meskipun itu hanya 1+1=2,” ujarku kepada Friska yang sudah hafal dengan kalimatku ini karena hampir setiap hari aku mengucapkannya.


Friska pun diam dan berjalan bersamaku entah ke manapun tujuannya. “Rudi. Kamu tahu aku masih tetap mencintaimu,” ucap Friska.

“Iya aku tahu. Kamu sudah berkata ini berulang kali untuk membantuku mengingatnya. Ya kan?” ucapku sambil menunjuk menggunakan jari telunjuk ke wajah Friska.

Friska pun tertawa. Aku pun tertawa. Kami tertawa. Ya, bahagia itu sederhana pikirku.
Bersambung…

Pages