Pagi yang cerah, yang juga membuat aku bersemangat menyambutnya. Apalagi sekarang
hari Senin, dimana saatnya untuk sekolah dan upacara tiba. Mungkin banyak yang
membenci hari Senin, tapi bagiku hari Senin merupakan berkat tersendiri. Bukan
karena upacara atau sekolahnya, tapi hanya karena dia, wanita yang kudamba,
kupuja, dan selalu menemani hayalku disaat sebelum tidur. Berlebihan memang,
tapi itulah kenyataannya.
“Ah sudah
menghayalnya, nanti terlambat lagi,” kataku lalu bergegas mandi dan bersiap
pergi. Tidak perlu waktu lama bagiku untuk bersiap dan sarapan pagi.
“Aku pergi
dulu ya mah,” kataku sambil menutup pintu.
Sesampainya
di Sekolah, aku segera mengambil tempat terdepan dalam barisan. Bukan karena
badanku pendek, tapi karena wanita itu sedang menjadi petugas upacara.
Tidak lama upacara pun dimulai, aku pun mulai memasang posisi siap dan berharap terlihat
gagah jika dia melihatku nanti. Sekedar informasi, sekolahku termasuk salah
satu sekolah unggul dan sering menjuarai lomba paskibra. Meski kami masih SMP,
tapi prestasi yang kami dapatkan cukup gemilang hingga tingkat nasional. Apakah aku ikut? Haha jangan harap.. buat berjalan biasa saja sudah nyerong.
Dalam
fokusku untuk tegap, tiba-tiba Ricky membisikkan sesuatu.
“Ndra, si Reni cantik juga ya. Seksi lagi,” bisiknya sambil sedikit mencuri-curi pandang ke Reni.
“Memang
ia, dia luar biasa,” bisikku sambil tetap berusaha untuk gagah.
“Kamu suka
dengannya?” tanya Ricky yang juga sahabatku sejak awal masuk SMP sampai
sekarang mendekati kelulusan.
“Hm,
tidak.” Bohongku, karena kupikir akan berbahaya jika dia tahu. Soalnya aku takut Reni menjauh. Tidak ada jawab
lagi yang kudapat darinya, dia hanya terdiam dan mengambil sikap siap.
Hari
berlalu begitu cepat, setiap minggu ku lewati dengan indah hanya karena ada dia
dalam pikiranku. Apalagi, kemarin aku sekelompok dengannya dan dia mengajakku
bercanda sambil bermain tebak jempol. Dia sangat lucu, aku semakin jatuh cinta
padanya. Sejujurnya aku tak mengerti apa itu cinta, tapi kata orang-orang sih, ini cinta. Tapi ada juga yang bilang kalau ini cinta monyet. Aku tidak perduli,
mau monyet, kambing, kucing, kerbau, atau sapi pun aku tidak perduli, yang
penting aku bisa dekat dengannya dan kalau bisa mendapatkan hatinya.
Hari terakhir sekolah semester satu pun tiba, dan aku baru saja selesai ujian. Aku merapihkan alat
tulisku dan memasukkannya kedalam tas.
Hari yang melelahkan pikirku, dan aku memilih untuk segera pulang. Disaat aku mendekati gerbang pintu keluar, ada seseorang menepok pundakku.
“Indra,”
Sapa Reni kepadaku lalu tersenyum, aku pun membalasnya dengan senyuman malu. Aku yakin senyumanku sangat menjijikan, aku tak jago berekspresi. Ternyata dia hanya menyapa dan
pergi bersama teman-temannya yang juga tidak kalah cantik darinya. Tapi tetap
saja, dia lah yang sang bidadariku. Tanpa sadar, aku telah menghentikan
langkahku karena terpesona akan senyumnya. Aku memang sangat mengaguminya,
bahkan folder di komputerku saja berbackground foto wajahnya. “bukan main,”
pikirku.
Tiba-tiba
ada yang menepok pundakku lagi. Tetapi rasanya sangat berbeda dan sedikit
kekar, kupikir tidak mungkin Reni kembali lagi lewat pintu belakang yang
terkunci dan menepokku dengan tangan kekarnya akibat memanjat pagar sekolah
untuk bisa masuk dan kembali menepokku.
“Woi las, gw ingin cerita nih,” katanya lalu tersenyum, rupanya Ricky.
“Cerita
apa sih?” tanyaku sambil meneruskan langkahku kembali.
“Kemarin. Reni ngajakin gw makan!” katanya lalu tersenyum lebar. Aku segera
menghentikkan langkahku dan menatapnya. “Serius?” tanyaku memastikan.
“Dua rius
Sinatria,” katanya sambil tertawa. “Itu darius,” balasku sambil menahan rasa
pedih. Bagaimana tidak pedih, seorang yang aku suka selama 2 tahun mengajak
makan sahabatku yang baru menyukainya kemarin sore. “Kau hancurkan aku dengan
sikapmu…. Tak sadarkah kau telah menyakitiku….” Lagu yang kebetulan terputar di
angkot yang ku tumpangi dan mewakili kesedihanku. Selama di angkot, aku hanya
bisa terdiam dan merenung, sedangkan temanku menceritakan panjang lebar apa
yang dia alami bersama Reni pujaan hatiku. Mereka makan bersama, tertawa
bersama, dan saling bertukan nomor handphone. Untuk nomor handphone, jujur aku
ikhlas karena memang aku pun tidak punya handphone. Jajan saja Rp 3.000,- mana
kuat beli handphone. Aku juga tidak mau merepotkan orangtuaku.
“Duluan
ya,” Kataku sambil bergegas turun dari angkot dan membayar sesuai tarif
biasanya.
“Masih
muda sudah duluan aja. Hati-hati lu, tenang-tenang ya” katanya sambil tertawa
meledek.
“Sialan
lo,” kataku membalas leluconnya.
Kupikir
sudah selesai langkahku, sudah tidak ada yang perlu diperjuangkan lagi. Dia
pantas mendapatkannya, sahabatku merupakan orang yang humoris, taat agama, dan
pintar. Sedangkan diriku hanya seorang yang pendiam, jarang beribadah, dan
ranking satu. Ranking satu yang membuat
orangtuaku marah dan menghukumku, karena ranking satu yang ku maksud adalah
ranking satu dari belakang, dan satu kelas ada empat puluh orang. Ya, memang
sangat bodoh. Apa unggulnya diriku? Sudahlah relakan saja.
Hari
demi hari kulalui dengan berbeda, tidak lagi secerah dulu. Tidak lagi ada dia
yang kupikirkan, dan hanya berfokus pada pelajaran. Walapun, terkadang terfikir
juga, apalagi saat membuka folder di komputerku dan melihat foto wajahnya yang
menjadi background folder rahasiaku. Aku tidak pernah perduli lagi apa yang
mereka lakukan, hingga hari kelulusan pun tiba, aku pun tidak mau tahu sudah
sampai mana hubungan mereka. Aku berkomitmen untuk berubah di SMA nanti, aku
tidak mau lagi jadi bahan ejekan teman karena nilaiku yang selalu jelek, dan
aku tidak mau lagi hanya menjadi pengagum rahasia seorang wanita. Aku akan
belajar berkomunikasi dengan wanita lain, walaupun sangat sulit bagiku untuk move on dari Reni.
Dua
tahun berjalan, aku dapat kabar bahwa mereka sudah pacaran. Sudah kuduga
pikirku, hingga akhirnya aku bertemu dengan seorang sahabat Ricky di SMA dan
kami berkenalan dan bertukar pikiran. Dia bernama Petrus, dia menjadi partnerku
dalam kegiatan gereja, tapi bukan itu yang terpenting darinya. Sore itu aku
duduk di tangga gereja dan termenung melihat hujan yang tak kunjung reda.
“Woi ndra,
ngapain lu?” sapanya dan duduk disampingku
“Biasa,
nyari inspirasi,” balasku sedikit cuek. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku
bagaimana kabar Ricky dan juga Reni.
“Gimana
mereka?” tanyaku singkat, karena dia sudah pasti tahu apa yang ku maksud.
“Masih
langgeng kok las, memang kenapa?” tanyanya heran.
“Gpp, sejak kapan sih mereka
jadian?” tiba-tiba pertanyaan itu terucap dan memang aku penasaran.
“Hm.. sejak
1 tahun lalu, lu tau tidak dia ditolak 4 kali?” katanya sambil menyalakan rokok
yang dipegangnya.
“Serius
tuh 4 kali ditolak?” tanyaku lagi seraya tidak percaya, karena kupikir dia
tidak akan sanggup menolak ketampanan Ricky. Toh, si Reni juga kok yang
mengajak makan duluan.
“Ia, dia
pejuang banget. Sampai-sampai dia rela menghabiskan waktunya hanya untuk
mendapatkan hati Reni,” katanya sambil menghisap rokok dan menghembuskannya ke
wajahku.
“ah, sial
kau. Bisa mati nanti aku kau buat.” Kataku dengan logat batak yang dibuat-buat.
“Lebay
kau. Dan ada satu hal yang sangat diluar pikiranku soal dia dalam
memperjuangkan hati Reni,” lanjutnya.
“Apa itu?”
tanyaku semakin heran.
“Dia sampai meminta restu orangtua Reni untuk berpacaran
dan berjanji menjaganya sampai waktu yang diijinkan allah katanya,” Kata Petrus
sambil mematikan rokok yang baru saja dihisapnya sekali. Dia memang unik,
merokok hanya untuk sekali hisap, biar tidak sakit-sakit banget katanya.
Aku
hanya bisa termenung dan mengambil sedikit pelajaran mengenai apa itu cinta. Ternyata cinta itu tidak terlihat, jika hanya memikirkan setiap hari dan mengaguminya.
Cinta itu akan terlihat jika kita ingin memperjuangkannya dan mengambil langkah
nyata dalam menyatakan ketulusan hati kita.
Aku pun sangat ikhlas sekarang,
sahabatku itu sangat layak mendapatkan hati Reni pujaan hatiku yang ternyata
hanya ku kagumi tapi tidak kucintai. Aku akan berjanji nantinya, jika aku
menemukan orang yang tepat, aku akan memperjuangkannya dengan aksi nyata bukan
bayangan semata. Karena cinta itu aksi bukan saksi.
-The End-